Semakin lucu
saja nergeriku ini memang, masyarakatnya terkadang kelewatan bodoh ketika
bertemu dengan sesuatu yang dianggap sebuah kebanggaan yang hakekatnya hanya
akan menjatuhkan harga diri saja. Tentu saja saya juga sering melakukan hal-hal
bodoh tersebut tersebut karena balik lagi bahwasanya saya juga merasa menjadi
bagian dari negeri ini, oleh karena itu mau tidak mau entah dalam keadaan sadar
ataupun tidak sayapun melakukannnya. Ngomongin soal politik memang nggak ada
matinya, padahal kalau kita tengok sebentar rekaman sejarah, sudah berapa juta
manusia mati hanya gara-gara politik, mulai dari zaman batu sampai zaman milenium. Tapi ya sudahlah, di dunia ini memang semuanya
butuh pengorbanan, mulai korban sapi sampai korban hati atau sampai-sampai
harus mati hanya untuk melancarkan strategi.
Bicara soal
negeriku ini memang tak lepas dari kisah nenek moyang yang katanya seorang
pelaut. Ketika mendengar ungkapan tersebut saya merasa ada yang janggal dala
cerita tersebut. Beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah dimana
sisa-sisa peninggalan nenek moyang yang terlihat ada pada diri kita. Apabila dilihat
dari perspektif kenapa orang melakukan perjalanan sampai meninggalkan kampung
halamannnya tentu saja dapat kita dapat memunculkan beberapa asumsi yang saya
ringkas menjadi 4 alasan.
Pertama, setiap
makhluk melakukan sebuah perjalanan untuk pencarian lahan baru untuk memenuhi
kebutuhan primer mereka yaitu makanan, begitu pula manusia. Kedua, setiap makhluk
akan melakukan sebuah perjalanan meninggalkan sebuah tempat kelahirannya karena
faktor external dari alam yang tidak bisa untuk diatasi misalkan saja gunung
meletus. Ketiga, beberapa makhluk yang kalah dalam mempertahankan teritorial
atau wilayah kekuasaannya, maka mau tidak mau harus meninggalkannya dan hal itu juga terjadi pada manusia. Keempat,
apabila sebuah kaum meninggalkan tanah kelahirannya dapat pula kita berasumsi
bahwa mereka pergi untuk menaklukkan daerah lain untuk memperluah wilayah
kekuasaannya.
Untuk alasan
pertama dan kedua kita tidak perlu membahasnya terlalu jauh, karena itu semua sudah menjadi kebutuhan dan hal yang tidak
bisa ditawar untuk bertahan hidup. Oleh karena itu saya akan mengupas alasan
yang ketiga dan keempat saja yang menurut saya lebih pas untuk dinego. Saya mengistilahkan
nego pada alasan ketiga dan keempat karena pada poin-poin tersebut masih ada
kesempatan untuk difikirkan dan bukan menjadi suatu keharusan untuk melakukan
sebuah perjalanan.
Dengan berasumsi
bahwa nenek moyang kita melakukan perjalanan antar pulau karena menanggung
kekalahan dari bangsa lain, itu berarti bangsa kita ini adalah bangsa pecundang
yang tidak mampu mempertahannkan wilayah kekuasaannya. Dan anehnya sayapun
sedikit mengamini teori tersebut dengan alasan bahwa dalam rekaman sejarah bangsa
kita telah digilir untuk memenuhi kepuasan nafsu bangsa lain selama lebih dari 350
tahun. Tapi tunggu dulu itu hanya untuk diatas kertas saja. Benarkan hanya 350
tahunsaja? Menurut saya penjajahan bangsa-bangsa asing itu tidak habis dalam
waktu 350 tahun tersebut, karena bentuk-bentuk imperialis bangsa asing masih
ada dan nyata di hadapan kita sekarang ini. Fakta tersebutlah yang menurut saya
merupakan cerminan dari seperti apa nenek moyang kita yang mengarah pada teori
ketiga.
Akan tetapi
apabila merujuk pada alasan keempat, menunjukkan bahwa bangsa kita adalah
bangsa petarung yang hebat dan kuat, memiliki kecerdasan tinggi sehingga dapat
merumuskan strategi yang tepat kepada setiap lawannya, memiliki jiwa sebagai
penakluk serta memiliki harga diri yang tinggi. Hal itu dapat kita lihat pada
sejarah kerajaan-kerajaan yang terbentuk di nusantara pada zaman dahulu kala. Kita
dapat mengambil contoh dari kerajaan Majapahit yang wilayah jajahannya sampai
melebihi luas indonesia sekarang. Dengan melihat bahwa nenek moyang kita
sebagai bangsa petarung, tidak aneh apabila sekarang bangsa kita banyak sekali
yang melakukan pertarungan-pertarungan hanya karena masalah sepele. Hal itu
mungkin memang disebabkan tidak tersalurkannya naluri petarung yang dimiliki
oleh bangsa kita. Dan yang disayangkan kenapa tenaganya hanya untuk
masalah0masalah yang sepele saja bukan untuk masalah yang lebih besar seperti
melawan bangsa lain yang mengambil kekayaan alam kita misalnya. Atau memang
bangsa ini nyalinya hanya cumup untuk mengurusi masalah yang remeh temeh saja.
Kelemahan bangsa
ini menurut saya pribadi adalah karena sikap tidak terbukanya masyarakat kita
mengenai segala sesuatu. Dari zaman purba, simbol adalah salah satu cara
komunikasi yang digunakan selain kata-kata. Begitu banyak simbol atau yang
dalam bahasa sekarang kerennya disebut semiotik, yang merupakan jati diri atau
cerminan sebuah komunitas masyarakat dan tidak semuanya terjelaskan secara
gamblang bahkan dalam ilmu pendidikan sekalipun. Karena saya orang jawa, saya
akan mengambil contoh dari etnis saya saja biar tidak menyinggung etnis lain. Dalam
etnis jawa ada beberapa bentuk simbolis yang mungkin menggambarkan sifat dan
karakter orang Jawa misalkan blangkon. Ada beberapa macam bentuk blangkon yang
ada saat ini sesuai dengan daerahnya masing masing. Saya hanya akan mengambil
contoh bentuk benjolan yang ada di blangkon. Ada benjolan yang di depan dan ada
benjolan yang di belakang yang tentu saja memiliki makna filosofis yang
berbeda.
Saya akan
memberi gambaran makna benjolan pada blangkon menurut versi saya dari
perspektif positif yang telah saya dapatkan dari pengalaman saya berinteraksi
dengan etnis saya selama ini terlebih dahulu. Arti benjolan yang terletak pada
blangkon pada bagian depan dianggap sebagai cerminan sifat dan sikap sebuah
komunitas yang terbuka dan berani menunjukkan sikap yang dirasakan sebenarnya
atau untuk lebih sederhananya memiliki makna menjadi seseorang yang tampil apa
adanya. Sedangkan untuk arti benjolan yang terdapat di belakang menurut saya
memiliki arti bahwasanya seorang manusia itu tidak boleh sombong dan bertindak
sewajarnya. Selain itu juga sebagai simbol bahwa apabila memiliki kekuatan yang
lebih daripada orang lain, lebih baik disimpan agar tidak menimbulkan prasangka
dan kesombongan kepada orang lain. Untuk lebih sederhananya maksud dari simbol
itu adalah mengajarkan kita agar lebih rendah hati dan bersikap biasa seperti
pada umumnya.
Setiap ciptaan
pasti memiliki dua sisi yang berseberangan seperti pisau yang bisa digunakan
untuk memasak makanan yang menyehatkan atau digunakan untuk membunuh seseorang.
Kalo kita melihat dari contoh blangkon sesuai dengan analogi bahwasanya setiap
ciptaan disunia memiliki dua sisi yang berseberangan, maka simbol blangkon pun
menurut hemat saya memiliki sisi persepsi yang cenderung kearah negatif pula. Untuk
blangkon yang memiliki benjolan di depan, setelah saya berinteraksi dan
memperhatikan sifat dan sikap komunitas yang memakai blangkon tersebut saya
memiliki pendapat bahwa model blangkon tersebut merepresentasikan sifat
komunitas yang cenderung blak-blakkan tanpa peduli perasaan pihak lain tentang perilaku
dan ucapannya. Komunitas ini lebih menunjukkan eksintensinya kepada orang lain
dengan lebih memperlihatkan segala kemampuan yang dimilikinya. Dengan kata lain
terkadang akan terlihat seperti menyombongkan kemampuan yang dimilikinya kepada
orang lain.
Pada kasus
blangkon yang memiliki benjolan di belakang, kebanyakan orang menafsirkan bahwa
kelompok masyarakat yang memakainya memiliki karakter tidak jujur dan lebih
suka ngedumel dibelakang. Ada pula yang menafsirka bahwa kelompok masyarakat
tersebut sangat lihai dalam berpura-pura dan sangat sulit mengetahui jalan
pikirannya yang sebenarnya. Contoh diatas hanya satu diantara jutaan
simbol-simbol yang ada di nusantara kita ini. Bagaimana dengan simbol-simbol
yang lain? Melihat realita-realita yang
merepresentasikan simbol-simbol tersebut, seharusnya peneliti bidang
antropologi ataupun pemerintah dengan jujur menyampaikan makna-makna yang
terdapat dalam sebuah simbol masyarakat, baik itu sesuatu yang positif maupun
sisi negatifnya. Karena dengan mengetahui baik buruknya peninggalan leluhur
kita, menurut saya kita akan lebih cepat mencapai kedewasaan berfikir yang
selama ini menurut saya masyarakat masih dianggap sebagai anak kecil yang tidak
boleh tahu hal-hal negatif yang sebenarnya terpendam dalam sejarah bangsa ini. Dan
hasilnya seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini. Bangsa kita menjadi
bangsa yang diremehkan seperti seorang anak kecil yang baru belajar berjalan. Pertanyaannya
adalah sampai kapan akan seperti itu? Padahal kenyataannya peradaban kita
pernah lebih unggul dibandinggkan dengan bangsa lain. Lantas pada kemana semua
itu?
Sepertinya masyarakat
bangsa ini lebih suka hanya menjadi penonton saja, bahkan menjadi penonton
setia kayak ibu-ibu yang suka nonton sinetron di televisi. Kenapa saya mengatakan
sepeti itu? Jawabanya adalah kita lebih suka melihat bangsa asing mengeruk apa
yang kita punya di rumah kita sendiri sambil tertawa-tawa melihat mereka. Kita juga
tolol seperti keledai yang begitu senangnya diiming-imingi satu buah wortel,
padahal kita yang menarik kereta mereka yang penuh dengan makanan. Kita juga
dipaksa menjadi kanibal yang tega memakan daging saodara sendiri. Mantep nggak
tuh! Saya bukan orang yang anti asing, hanya saja saya tidak suka bagaimana
bangsa asing memperlakukan kita selama ini karena mereka seolah tiada mau untuk
memunculkan kesetaraan.
Seandainya saja
ada yang mampu mengembalikan perasaan, sikap dan perilaku kita seperti pada
zaman majapahit, bukan tidak mungkin bangsa ini menjadi pemimpin bangsa-bangsa
lain di dunia. Saya pernah mendengar isu yang mengatakan bahwa banyak negara-negara
maju dulunya memiliki hutang dengan kerajaan majapahit. Bayangkan saja kalau
itu memang benar, semegah dan seterhormat apa bangsa kita dimata dunia saat
itu. Kalaupun itu hanya isu, logikanya mana ada kerajaan yang mampu menaklukkan
banyak kerajaan tanpa ada dukungan finansial yang sangat kuat? Tapi sekarang? Salah
satu penyakit bangsa ini adalah melihat sejarah ya pantesnya di atas kertas
saja. Sedikit sekali orang yang menempatkan sejarah menjadi bagian dari tubuh,
pikiran, dan hatinya. Kita mungkin pernah melihat sosok yang mewakili kejayaan
Gajah Mada pada kerajaan Majapahit ada pada presiden pertama kita yaitu
Sukarno. Alasan saya menyamakan sosok Gajahmada dengan adalah karena mereka
berdua memiliki agenda yang sama yaitu menyatukan nusantara. Sukarno berhasil
menyatukan kembali kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara sehingga menjadi
negara yang sekarang kita sebut sebagai Indonesia.
Kalau ingin
melihat betapa hebatnya Sukarno, anda jangan terburu-buru melihat kiprahnya di
dunia internasional. Pekerjaan terkeren menurut saya adalah ketika Sukarno
menyatukan kerajaan-kerajaan di nusantara. Logikanya kalau anda seorang pemilik
rumah kemudian datang seseorang untuk meminta rumah anda agar digunakan secara
bersama-sama dan memiliki hak yang sama, lantas apa anda akan dengan sukarela langsung
menyerahkan rumah anda begitu saja? Kebanyakan dari kita mungkin akan berfikir
seribu kali dan cenderung untuk menolaknya. Oleh karena itu, yang membuat saya
bertanya-tanya adalah bagaimana cara Sukarno meyakinkan raja-raja di nusantara untuk
melebur menjadi satu negara. Itu masih menjadi sebuah misteri bagi saya.
be continue…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar