Sabtu, 14 Juni 2014

KOMEN ASAL

Semakin lucu saja nergeriku ini memang, masyarakatnya terkadang kelewatan bodoh ketika bertemu dengan sesuatu yang dianggap sebuah kebanggaan yang hakekatnya hanya akan menjatuhkan harga diri saja. Tentu saja saya juga sering melakukan hal-hal bodoh tersebut tersebut karena balik lagi bahwasanya saya juga merasa menjadi bagian dari negeri ini, oleh karena itu mau tidak mau entah dalam keadaan sadar ataupun tidak sayapun melakukannnya. Ngomongin soal politik memang nggak ada matinya, padahal kalau kita tengok sebentar rekaman sejarah, sudah berapa juta manusia mati hanya gara-gara politik, mulai dari zaman batu sampai zaman milenium.  Tapi ya sudahlah, di dunia ini memang semuanya butuh pengorbanan, mulai korban sapi sampai korban hati atau sampai-sampai harus mati hanya untuk melancarkan strategi.
Bicara soal negeriku ini memang tak lepas dari kisah nenek moyang yang katanya seorang pelaut. Ketika mendengar ungkapan tersebut saya merasa ada yang janggal dala cerita tersebut. Beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah dimana sisa-sisa peninggalan nenek moyang yang terlihat ada pada diri kita. Apabila dilihat dari perspektif kenapa orang melakukan perjalanan sampai meninggalkan kampung halamannnya tentu saja dapat kita dapat memunculkan beberapa asumsi yang saya ringkas menjadi 4 alasan.
Pertama, setiap makhluk melakukan sebuah perjalanan untuk pencarian lahan baru untuk memenuhi kebutuhan primer mereka yaitu makanan, begitu pula manusia. Kedua, setiap makhluk akan melakukan sebuah perjalanan meninggalkan sebuah tempat kelahirannya karena faktor external dari alam yang tidak bisa untuk diatasi misalkan saja gunung meletus. Ketiga, beberapa makhluk yang kalah dalam mempertahankan teritorial atau wilayah kekuasaannya, maka mau tidak mau harus meninggalkannya  dan hal itu juga terjadi pada manusia. Keempat, apabila sebuah kaum meninggalkan tanah kelahirannya dapat pula kita berasumsi bahwa mereka pergi untuk menaklukkan daerah lain untuk memperluah wilayah kekuasaannya.
Untuk alasan pertama dan kedua kita tidak perlu membahasnya terlalu jauh, karena itu semua  sudah menjadi kebutuhan dan hal yang tidak bisa ditawar untuk bertahan hidup. Oleh karena itu saya akan mengupas alasan yang ketiga dan keempat saja yang menurut saya lebih pas untuk dinego. Saya mengistilahkan nego pada alasan ketiga dan keempat karena pada poin-poin tersebut masih ada kesempatan untuk difikirkan dan bukan menjadi suatu keharusan untuk melakukan sebuah perjalanan.
Dengan berasumsi bahwa nenek moyang kita melakukan perjalanan antar pulau karena menanggung kekalahan dari bangsa lain, itu berarti bangsa kita ini adalah bangsa pecundang yang tidak mampu mempertahannkan wilayah kekuasaannya. Dan anehnya sayapun sedikit mengamini teori tersebut dengan alasan bahwa dalam rekaman sejarah bangsa kita telah digilir untuk memenuhi kepuasan nafsu bangsa lain selama lebih dari 350 tahun. Tapi tunggu dulu itu hanya untuk diatas kertas saja. Benarkan hanya 350 tahunsaja? Menurut saya penjajahan bangsa-bangsa asing itu tidak habis dalam waktu 350 tahun tersebut, karena bentuk-bentuk imperialis bangsa asing masih ada dan nyata di hadapan kita sekarang ini. Fakta tersebutlah yang menurut saya merupakan cerminan dari seperti apa nenek moyang kita yang mengarah pada teori ketiga.
Akan tetapi apabila merujuk pada alasan keempat, menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa petarung yang hebat dan kuat, memiliki kecerdasan tinggi sehingga dapat merumuskan strategi yang tepat kepada setiap lawannya, memiliki jiwa sebagai penakluk serta memiliki harga diri yang tinggi. Hal itu dapat kita lihat pada sejarah kerajaan-kerajaan yang terbentuk di nusantara pada zaman dahulu kala. Kita dapat mengambil contoh dari kerajaan Majapahit yang wilayah jajahannya sampai melebihi luas indonesia sekarang. Dengan melihat bahwa nenek moyang kita sebagai bangsa petarung, tidak aneh apabila sekarang bangsa kita banyak sekali yang melakukan pertarungan-pertarungan hanya karena masalah sepele. Hal itu mungkin memang disebabkan tidak tersalurkannya naluri petarung yang dimiliki oleh bangsa kita. Dan yang disayangkan kenapa tenaganya hanya untuk masalah0masalah yang sepele saja bukan untuk masalah yang lebih besar seperti melawan bangsa lain yang mengambil kekayaan alam kita misalnya. Atau memang bangsa ini nyalinya hanya cumup untuk mengurusi masalah yang remeh temeh saja.
Kelemahan bangsa ini menurut saya pribadi adalah karena sikap tidak terbukanya masyarakat kita mengenai segala sesuatu. Dari zaman purba, simbol adalah salah satu cara komunikasi yang digunakan selain kata-kata. Begitu banyak simbol atau yang dalam bahasa sekarang kerennya disebut semiotik, yang merupakan jati diri atau cerminan sebuah komunitas masyarakat dan tidak semuanya terjelaskan secara gamblang bahkan dalam ilmu pendidikan sekalipun. Karena saya orang jawa, saya akan mengambil contoh dari etnis saya saja biar tidak menyinggung etnis lain. Dalam etnis jawa ada beberapa bentuk simbolis yang mungkin menggambarkan sifat dan karakter orang Jawa misalkan blangkon. Ada beberapa macam bentuk blangkon yang ada saat ini sesuai dengan daerahnya masing masing. Saya hanya akan mengambil contoh bentuk benjolan yang ada di blangkon. Ada benjolan yang di depan dan ada benjolan yang di belakang yang tentu saja memiliki makna filosofis yang berbeda.
Saya akan memberi gambaran makna benjolan pada blangkon menurut versi saya dari perspektif positif yang telah saya dapatkan dari pengalaman saya berinteraksi dengan etnis saya selama ini terlebih dahulu. Arti benjolan yang terletak pada blangkon pada bagian depan dianggap sebagai cerminan sifat dan sikap sebuah komunitas yang terbuka dan berani menunjukkan sikap yang dirasakan sebenarnya atau untuk lebih sederhananya memiliki makna menjadi seseorang yang tampil apa adanya. Sedangkan untuk arti benjolan yang terdapat di belakang menurut saya memiliki arti bahwasanya seorang manusia itu tidak boleh sombong dan bertindak sewajarnya. Selain itu juga sebagai simbol bahwa apabila memiliki kekuatan yang lebih daripada orang lain, lebih baik disimpan agar tidak menimbulkan prasangka dan kesombongan kepada orang lain. Untuk lebih sederhananya maksud dari simbol itu adalah mengajarkan kita agar lebih rendah hati dan bersikap biasa seperti pada umumnya.
Setiap ciptaan pasti memiliki dua sisi yang berseberangan seperti pisau yang bisa digunakan untuk memasak makanan yang menyehatkan atau digunakan untuk membunuh seseorang. Kalo kita melihat dari contoh blangkon sesuai dengan analogi bahwasanya setiap ciptaan disunia memiliki dua sisi yang berseberangan, maka simbol blangkon pun menurut hemat saya memiliki sisi persepsi yang cenderung kearah negatif pula. Untuk blangkon yang memiliki benjolan di depan, setelah saya berinteraksi dan memperhatikan sifat dan sikap komunitas yang memakai blangkon tersebut saya memiliki pendapat bahwa model blangkon tersebut merepresentasikan sifat komunitas yang cenderung blak-blakkan tanpa peduli perasaan pihak lain tentang perilaku dan ucapannya. Komunitas ini lebih menunjukkan eksintensinya kepada orang lain dengan lebih memperlihatkan segala kemampuan yang dimilikinya. Dengan kata lain terkadang akan terlihat seperti menyombongkan kemampuan yang dimilikinya kepada orang lain.
Pada kasus blangkon yang memiliki benjolan di belakang, kebanyakan orang menafsirkan bahwa kelompok masyarakat yang memakainya memiliki karakter tidak jujur dan lebih suka ngedumel dibelakang. Ada pula yang menafsirka bahwa kelompok masyarakat tersebut sangat lihai dalam berpura-pura dan sangat sulit mengetahui jalan pikirannya yang sebenarnya. Contoh diatas hanya satu diantara jutaan simbol-simbol yang ada di nusantara kita ini. Bagaimana dengan simbol-simbol yang lain?  Melihat realita-realita yang merepresentasikan simbol-simbol tersebut, seharusnya peneliti bidang antropologi ataupun pemerintah dengan jujur menyampaikan makna-makna yang terdapat dalam sebuah simbol masyarakat, baik itu sesuatu yang positif maupun sisi negatifnya. Karena dengan mengetahui baik buruknya peninggalan leluhur kita, menurut saya kita akan lebih cepat mencapai kedewasaan berfikir yang selama ini menurut saya masyarakat masih dianggap sebagai anak kecil yang tidak boleh tahu hal-hal negatif yang sebenarnya terpendam dalam sejarah bangsa ini. Dan hasilnya seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini. Bangsa kita menjadi bangsa yang diremehkan seperti seorang anak kecil yang baru belajar berjalan. Pertanyaannya adalah sampai kapan akan seperti itu? Padahal kenyataannya peradaban kita pernah lebih unggul dibandinggkan dengan bangsa lain. Lantas pada kemana semua itu?
Sepertinya masyarakat bangsa ini lebih suka hanya menjadi penonton saja, bahkan menjadi penonton setia kayak ibu-ibu yang suka nonton sinetron di televisi. Kenapa saya mengatakan sepeti itu? Jawabanya adalah kita lebih suka melihat bangsa asing mengeruk apa yang kita punya di rumah kita sendiri sambil tertawa-tawa melihat mereka. Kita juga tolol seperti keledai yang begitu senangnya diiming-imingi satu buah wortel, padahal kita yang menarik kereta mereka yang penuh dengan makanan. Kita juga dipaksa menjadi kanibal yang tega memakan daging saodara sendiri. Mantep nggak tuh! Saya bukan orang yang anti asing, hanya saja saya tidak suka bagaimana bangsa asing memperlakukan kita selama ini karena mereka seolah tiada mau untuk memunculkan kesetaraan.
Seandainya saja ada yang mampu mengembalikan perasaan, sikap dan perilaku kita seperti pada zaman majapahit, bukan tidak mungkin bangsa ini menjadi pemimpin bangsa-bangsa lain di dunia. Saya pernah mendengar isu yang mengatakan bahwa banyak negara-negara maju dulunya memiliki hutang dengan kerajaan majapahit. Bayangkan saja kalau itu memang benar, semegah dan seterhormat apa bangsa kita dimata dunia saat itu. Kalaupun itu hanya isu, logikanya mana ada kerajaan yang mampu menaklukkan banyak kerajaan tanpa ada dukungan finansial yang sangat kuat? Tapi sekarang? Salah satu penyakit bangsa ini adalah melihat sejarah ya pantesnya di atas kertas saja. Sedikit sekali orang yang menempatkan sejarah menjadi bagian dari tubuh, pikiran, dan hatinya. Kita mungkin pernah melihat sosok yang mewakili kejayaan Gajah Mada pada kerajaan Majapahit ada pada presiden pertama kita yaitu Sukarno. Alasan saya menyamakan sosok Gajahmada dengan adalah karena mereka berdua memiliki agenda yang sama yaitu menyatukan nusantara. Sukarno berhasil menyatukan kembali kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara sehingga menjadi negara yang sekarang kita sebut sebagai Indonesia.
Kalau ingin melihat betapa hebatnya Sukarno, anda jangan terburu-buru melihat kiprahnya di dunia internasional. Pekerjaan terkeren menurut saya adalah ketika Sukarno menyatukan kerajaan-kerajaan di nusantara. Logikanya kalau anda seorang pemilik rumah kemudian datang seseorang untuk meminta rumah anda agar digunakan secara bersama-sama dan memiliki hak yang sama, lantas apa anda akan dengan sukarela langsung menyerahkan rumah anda begitu saja? Kebanyakan dari kita mungkin akan berfikir seribu kali dan cenderung untuk menolaknya. Oleh karena itu, yang membuat saya bertanya-tanya adalah bagaimana cara Sukarno meyakinkan raja-raja di nusantara untuk melebur menjadi satu negara. Itu masih menjadi sebuah misteri bagi saya.
be continue…….



Tidak ada komentar:

Posting Komentar