Jumat, 13 Juni 2014

NIGHT OF JUNE

      Malam semakin larut pekat membayang cahaya bulan mengalunkan hembusan beku yang mengeringkan aliran darahku, sekakan leher dan kepalaku tertanam sebuak pasak besi yang setiap saat membuatku mendesis. Beberapa malam kelam temaram yang aku lewati seakan menjadi pembias bayang jiwaku yang semakin lama terlihat semakin memudar. Semakin lama ku lalui kelam seperti ini semakin jauh diriku dengan peraduan yang biasa ku. Suara-suara kehidupan yang semakin lama menjauh dan memudar ku dengar setiap waktu bersama kelamku. Setiap saat aku bercerita, mengadu dan berteriak dalam alam kalamku yang dengan bebas aku hujamkan segala asa yang memasungku. 
     Jika kegelapan adalah sebuah kenistaan maka nistalah diriku yang merasakan kenyamanan dalam persembunyianku. Bila cahaya adalah sebuah pencerahan maka terpuruklah aku didalam kebuntuan karena cayaha hanya membuat mataku seolah tertusuk oleh makhluk yang berlindung dalam cahaya. Berbalut asap putih yang keluar dari ciptanya, kulalui kesendirianku sebagai seorang yang konon paling sempurna. Semakin hari aku semakin menjauh akan kesempurnaan, kehebatan, kejantanan, kecantikan, ketangguhan, peperkasaan, kenindahan, kesaktian, kebijaksanaan dan segalamacam yang terlihat menyilaukan mataku. Semakin ku memikirkan hal-hal tersebut semakin tercipta sebuah kebencian terhadap diriku sendiri yang merasa senang berkubang dalam kubangan cahaya. Kubangan yang selalu membuat diriku terlena dan takut untuk melagkahkan kaki-kakiku yang seharusya berlumuran tanah liat dari tanah yang seharusnya menjadi singgasanaku. 
      Mungkin aku bukan seorang heroik dan juga bukan seorang futuristik. Mungkinlah aku hanya seorang melankolis yang cenderung plegmatis yang lebih mudah bersikap pesimis dibandingkan untuk optimistis. Semakin lama aku menjalani usiaku, semakin memudar segala keyakinanku yang selama ini disuapkan ke dalam kalamku. Benar dan salah seolah segalanya hanya menjadi benar, hitam dan putih terlihat tidak terpisah melainkan satu. Cinta dan benci terasa bukan menjadi sebuah pertengtangan melainkan sebuah ikatan. Hidup dan mati bukan lagi menjadi sebuah pembatas melainkan jembatan yang menghubungkan kesebuah tempat yang mungkin aku tahu atau tidak ku mengerti sekalipun.
      Semakin banyak ku jumpai mahkluk sepertiku, semakin pudar segala bentuk yang telah tergambar di alam bawah sadarku. Semakin ku selami kalamku, semakin ku takut akan ketidakmampuan dan kelalaianku. Bosan, jenuh, penat adalah kata-kata yang aku muntahkan setiap hari tanpa ada batasan waktu. Segala makian yang ku muntahkan setiap hari tidak akan menyakiti orang lain karena yang pantas menyandang makian tersebut hanyalah diriku seorang. Kalaupun ada yang terciprat, sesunggunya tiada perlu orang sampai menepuk jidat dan balik mengumpat karana kondisiku lebih hina dari cipratan itu. Jangan pernah menganggap diriku adalah seorang sufi terlebih suci karena aku sendiripun mulai gamang tentang keberadaan orang-orang itu. Tidak ada manusia yang tidak pernah kotor, tidak ada manusia yang tidak pernah merasakan kehinaan karena sesunggunya manusia itu dari sanalah berasal. 
      Manusia adalah makhluk yang sempurna. Ketika orang berkata seperti itu kepadaku, pikiran liarku mulai bertanya-tanya tentang banyak hal. Apa yang disebut sempurna? Kenapa bisa sempurna? Bukankah kesempurnaan hanya milik tuhan? Lantas kenapa manusia mengaku-ngaku sebagai sebuah kesempurnaan. Apa iya hanya diberi segumpal daging lantas disebut makhluk sempurna? Lalu apa karena manusia yang diberi akal yang kebanyakan dangkal lantas menjadikan kita makhluk sempurna? Sekian lama ku cari jawaban, yang aku temui hanyalah sebuah arogansi makhluk yang mengatasnamakan kesempurnaan yang sebenarnya tiada berdaya apapun. 
      Gila! Sebuah kata yang bisa menjadi sebuah predikat yang nyaman ku sandang. Ketika menyandang kata itu, terbebaslah jiwaku yang selama ini terkurung yang membuatnya punya waktu menggemukkan diri yang akhirnya tiada mampu berdiri sekalipun. Hidupku seakan menjadi kuda jantan liar di padang belukar yang berlari dengan otot-otot kekar sembari berkelakar bahwa akulah cipta paling pintar lagi bugar. Atau menjadi singa yang gahar dengan tajamnya cakar dan lantang mengaum yang membuat ciut sebuah kaum. Tapi seindah-indahnya sandang tetaplah sandang, mereka hanya melengkapi atau mungkin menutupi apa yang sebenarnya diri kita. 
      Ketika kamu membaca tulisan kusutku, mugkin akan terbersit dalam benakmu bahwasanya tulisan ini penuh dengan retorika dan berbusa. Tiada perlu berdebat tentang apa yang aku tulis dan yang kamu pikir. Karena ini memang tulisan kusut yang carut marut dan tidak perlu untuk diurut atau dimasukkan dalam perut sampai rasa hatimu terparut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar