Senin, 23 Juni 2014

Kredibilitas, Independensi dan Obyektifitas Media Televisi Mulai Diragukan

       Sebuah institusi media massa seyogyanya menjadi baromerter refleksi dari sebuah kondisi atas realita yang sebenarnya tanpa adanya keterikatan dengan subyektifitas kelompok tertentu. Inti dari sebuah media baik itu cetak maupun elektronik mempunyai beban moral yang melekat atas segala informasi yang diberikan kepada masyarakat adalah hal yang merupakan kebenaran dan bukan merupakan sebuah pembenaran propaganda suatu kelompok. Sebuah institusi media haruslah terlepas dari unsur subyektifitas yang dapat mempengaruh kebenaran dan keotentikan sebuah informasi sehingga masyarakat menerima informasi yang sebenar-benarnya. Mass media yang baik adalah dalam menyampaikan informasi haruslah memiliki independensi dan intregritas atas segala informasi yang disampaikan kepada masyarakat. Keberpihakkan sebuah mass media menjadikan informasi yang disampaikan cenderung untuk meningkatkan ataupun menjatuhkan salah satu pihak yang mengakibatkan rancunya persepsi yang diterima oleh audience. Media massa yang menjunjung tinggi etika dan asas profesionalisme haruslah tidak merusaha menggiring dan menciptakan sebuah persepsi atas informasi yang disampaikannya kepada masyarakat.
                Kita harus mengakui bahwa mass media adalah salah satu potensi kekuatan yang sangat besar bagi perkembangan sebuah negara dimana melalui media massa kita dapat membuat, menggiring dan menciptakan opini dan persepsi di benak masyarakat. Bahkan dalam skala ekstrim mass media digunakan untuk propaganda pemerintah dan kelompok tertentu atau sebaliknya membuat persepsi yang buruk untuk pemerintah dan kelompok tertentu sehingga masyarakat terdorong untuk melakukan bentuk perlawanan terhadap pemerintah dan kelompok tersebut. Fakta tersebut menyadarkan kita betapa dahsyatnya pengaruh dari media massa yang sebenarnya. Dengan adanya mass media, kita sebagai masyarakat awam dapat meningkatkan wawasan atas segala informasi yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri dengan hampir tidak mempunyai keterbatasan ruang dan waktu untuk mengaksesnya dimasa ini.
       Dalam tulisan saya kali ini, saya lebih menekankan pembahasan kepada industri televisi yang mulai semarak dibumi pertiwi Indonesia. Televisi telah menciptakan satu bentuk kemelekkhufuran sendiri yang  memberikan informasi kepada dan melibatkan banyak orang, lebih banyak dari yang bisa dilakukan medium lainnya di dalam sejarah manusia. Seperti media pengalihan perhatian lainnya, televisi adalah pedang bermata dua. Pada sisi positifnya, televisi berperan sangat besar dalam melakukan perubahan penting yang sangat berarti dalam masyarakat. Sebagai contoh berbagai kasus pelanggaran hukum yang disorot oleh televisi menjadi lebih transparan dan cepat terselesaikan. Di lain pihak, kalau kegiatan membaca buku dan menonton film-film artistik memerlukan tingkat refleksi kritis tertentu pada pertanda yang ditampilkan, maka hal ini tidak diperlukan saat kita menonton citra-citra televisi. Hal ini mengakibatkan munculnya sifat pasif dan tidak reflektif yang berlangsung umum saat manusia menerima dan memahami pesan-pesan melalui televisi. Oleh karena itu, secara diam-diam televisi telah mengakibatkan sejenis kemalasan intelektual di dalam masyarakat secara keseluruhan.
      Saya menyadari bahwa setiap media televisi memiliki ideologi dan strategi yang digunakan untuk bertahan dalam industri ini, akan tetapi ideologi dan strategi yang digunakan haruslah bertolak pada kebaktian kepada masyarakat bukan kepada sebuah kelompok. Sebuah media televisi seharusnya tidak menjadikan diri mereka menjadi alat ataupun kendaraan untuk melancarkan propaganda dan persepsi suatu kelompok karena dengan begitu mereka telah menciderai masyarakat dengan menghilangkan independensi dan obyektifitas atas segala informasi yang diberikan. Dengan hilangnya independesi dan obyektifitas dari sebuah media publik memungkinkan hilangnya pula kepercayaan masyarakat atas sebuah institusi media massa dan pada akhirnya pilihannya hanyalah media tersebut mengalami kemunduran atau yang lebih parah apabila masyarakat tidak memiliki filter yang baik maka masyarakat hanya menjadi obyek imperialisme komunikasi dan komersialisasi dari media tersebut.
         Perkembangan bisnis media televisi di indonesia dewasa ini memang menunjukkan perkembangan yang signifikan. Hal itu disebabkan karena  bisnis penyiaran televisi merupakan salah satu bidang bisnis yang memiliki potensi untuk mendatangkan keuntungan yang besar sehingga banyak media publik baru yang bermunculan. Dengan semakin banyaknya media publik membuat mereka saling berlomba-lomba dalam hal kualitas untuk dapat menarik minat masyarakat agar supaya memiliki loyalitas kepada mereka.  Problematika yang dihadapi Indonesia saat ini adalah kebanyakan dari institusi media massa mulai kehilangan independensi dan obektifitas karena mulai membaurnya kepentingan-kepentingan suatu kelompok yang ingin membangun opini dan persepsi masyarakat atas kelompoknya sehingga media tersebut hanya menjadi sebuah alat pencitraan semata. Banyak pengusaha-pengusaha media publik yang terjun ke dunia politik sehingga dapat kita saksikan sekarang banyak media yang hanya menjadi tunggangan politik semata dan dengan kata lain hilang pula independensi dan obyektifitas dari media tersebut. Pertanyaannya adalah apakah kita sebagai masyarakat masih dapat mempercayai segala informasi yang disampaikan oleh media-media publik tersebut? Tidak salah apabila muncul keraguan  atas kredibilitas media-media yang menjadi alat politik salah satu kelompok karena sudah dapat dipastikan informasi-informasi yang disampaikan hanya untuk meningkatkan citra kelompok tersebut atau menjatuhkan citra kelompok saingannya. Dengan realita yang terjadi sekarang ini masyarakat nampak hanya menjadi korban eksploitasi komersil yang kehilangan haknya untuk mendapatkan kebenaran tanpa adanya tendensi suatu kelompok.
       Dengan keadaan media publik saat ini, sudah seharusnya masyarakat kritis dan meningkatkan resistensi terhadap segala informasi yang mengandung unsur subyektifitas sebuah kelompok agar tidak terjebak ke dalam persepsi subyektik yang coba dibangun oleh suatu kelompok melalui media secara verbal maupun semantik. Dengan terjadinya keberpihakan media terhadap sebuah kelompok pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban karena tidak mendapatkan edukasi nilai-nilai kebenaran yang sebagaimana mestinya. Sebagai media publik seharusnya mereka memahami bahwa masyarakat indonesia saat ini sudah cerdas dalam menganalisa sebuah persoalan akan tetapi memang tidak dapat dipungkiri tidak sedikit pula yang terjebak kedalam opini yang mereka bangun karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang komunikasi media massa sehingga tidak mampu mem-filter informasi-informasi yang datang kepada mereka.

     Mungkin kita tidak dapat menyalahkan sepenuhnya pada stasiun televisi yang kehilangan kredibilitasnya karena tidak dapat dipungkiri banyak diantara mereka yang terjebak pada sistem kapitalis yang membuat mereka terpaksa  kehilangan kredibilitas mereka. Pada kenyataannya bisnis media televisi merupakan bisnis yang membutuhkan modal yang cukup besar dalam setiap operasionalnya sehingga terkadang sebuah institusi media televisi harus menjual kredibilitasnya hanya untuk menjaga eksistensi mereka diindustri media televisi. Denga hilangnya kredibilitas, independensi dan nilai obyektifitas madia massa, pada akhirnya masyarakat hanya memiliki dua pilihan, yaitu menjadi lebih cerdas atau menjadi korban dari mereka. 

Rabu, 18 Juni 2014

PENUTUPAN DOLLY

Pusat prostitusi terbesar seasia tenggara akhirnya ditutup. Mendengar hal itu banyak orang pasti sangat senang tentang kejadian tersebut. Dalam pikiran banyak orang senang akan hal tersebut, mungkin tidak sedikit yang berfikir bahwa berkurang lagi salah satu tempat maksiat di bumi indonesia ini. Banyak pula masyarakat yang berharap dengan hilangnya sebuah lokalisasi, hilang pula kemaksiatan didaerah itu.
Angin surga seakan-akan telah datang dan tuhan telah menunjukkan kekuasaannya dengan menghilangkan kemaksiatan melalui  wakil-wakilnya di bumi. Akan tetapi dengan kebijakan tersebut, tidak sedikit pula beberapa kelompok masyarakat yang menyayangkan penutupan lokalisasi tersebut. Kita tidak bisa pungkiri bahwa pada kenyataannya tempat tersebut telah menjadi sebuah tempat matapencaharian orang-orang di lingkungan lokalisasi Dolly. Tidak sedikit orang yang mendapatkan keuntungan dari adanya Dolly dan menggantungkan kelangsungan hidupnya dibisnis prostitusi.
        Dalam kenyataannya, menjalankan bisnis prostitusi memang menjadi bisnis yang sangat menguntungkan. Dengan hanya bermodal body merekapun dengan mudahnya mendapatkan pundi-pundi uang untuk modal hidup mereka di bumi. Tidak perlu menjadi orang yang pintar, creatif dan bahkan hanya menjadi orang yang sekedarnya saja bisa mendapat banyak uang asal punya kelebihan fisik yang biasa orang menyebutnya cantik, bohay, sexy dan yang penting bisa bikin pria horny.
            Dapat kita perhatikan bahwa hampir semua  orang-orang yang menggantungkan hidupnya di lembah hitam ini memiliki pekerjaan yang lebih menggunakan fisik dibandingkan dengan mendayagunakan akal sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat kita lihat dari Orang-orang yang bekerja di lingkungan tersebut kebanyakan berprofesi sebagai tukang ojek, tukang becak, pedagang kelontong, dan tentu saja wanita-wanita pemuas nafsu laki-laki. Bagian mana dari pekerjaan mereka yang membutuhkan banyak tenaga untuk berfikir? Anda tentu dapat menilainya bukan.
          Kenyataan itu membuat seolah-olah tidak berfungsinya sistem pendidikan yang terdapat di daerah tersebut. Kita jadi berfikir buat apa didaerah itu memiliki sebuah institusi pendidikan yang tidak mampu membawa pengaruh positif dan menciptakan lingkungan yang bebas dari kemaksiatan. Memang kita juga tidak boleh menutup mata dan menyalahkan salah satu pihak karena memang prostitusi adalah sebuah bisnis dan banyak orang yang memiliki kepentingan dan berlatar belakang dari berbagai golongan.
             Kita tidak perlu munafik dan berfikir semua pelanggan yang datang itu hanya berasal dari golongan ekonomi bawah dan memiliki tingkat intelektual dibawah rata-rata. Justru pada kenyataannya tidak sedikit pula orang-orang dari kalangan menengah keatas yang memiliki intelektualitas yang baik juga berkontribusi dalam menyuburkan prostitusi di Dolly. Tidak sedikit yang menikmati layanan wanita-wanita cantik itu berasal dari kalangan eksekutif dan terkadang justru digunakan oleh para pengusaha untuk melancarkan berbagai macam proyek yang tentu kalau anda masih ingat soal gratifikasi sex yang pernah ramai dibicarakan dibanyak sosial media.
         Dengan ditutupnya Dolly, mungkin satu sisi kita merasa iba kepada orang-orang yang menggantungkan hidupnya di tempat maksiat tersebut. Akan terlintas dalam pikiran kita tentang bagaimana kelanjutan hidup mereka yang tidak mempunyai mata pencaharian lain dan akhirnya mungkin kita berfikir bahwa akan banyak pengangguran yang disebabkan oleh penutupan tersebut. Atau yang lebih parah akan terjadi peningkatan tindakan-tindakan kriminal di daerah tersebut karena mungkin banyak orang yang merasa kesulitan mencari pekerjaan dibidang lain dan mencari jalan pintas.
           Sebelum anda terlalu jauh berfikir bahwa mereka hanya menjadi korban semata, alangkah lebih bijak apabila kita mencermati terlebih dahulu dampak negatif apa saja yang telah diciptakan dengan adanya tempat prostitusi di sebuah daerah. Secara ekonomi, sudah jelas bahwa  prostitusi merupakan sebuah bisnis yang sangat menggiurkan akan tetapi manusia hidup tentu saja bukan hanya berpedoman kepada faktor ekonomi saja kan. Sebagai manusia yang bermartabat tentu dapat menilai bagaimana prostitusi di mata pendidikan, norma agama, norma sosial dan hukum. Disini saya juga mengingatkan bahwa yang sebenarnya kita larang adalah perbuatannya, bukan personal orangnya karena tidak sedikit dari mereka hanya menjadi korban perdagangan manusia dan ketidak becusan pemerintah dalam memberikan kesejahteraan yang cukup dan bermartabat bagi rakyatnya.
Saya bukan tipe orang familiar dengan tempat-tempat yang berbau kemaksiatan seperti itu dan saya pun hanya mendengar dari cerita-cerita orang yang pernah menjejakkan kaki di Dolly. Saya memang tidak familiar dan tidak suka dengan tempat-tempat tersebut tapi jujur saja saya pernah pergi ke beberapa tempat yang mirip dengan Dolly dengan niatan untuk melihat dan mempelajari lingkungan yang terdapat di lokalisasi itung-itung buat nambah pengalaman dan bahan referensi seperti yang saya tulis ini. Bukan bermaksud merendahkan tapi jujur saja ketika saya memasuki tempat-tempat tersebut ternyata hal pertama yang saya rasakan adalah rasa was-was dan geli bahkan kadang sedikit jijik ketika melihat penampakan-penampakan seperti itu dan mendengarkan percakapan-percakapan yang terjadi diantara mereka.
Ketika pertama kali saya diajak teman saya untuk menyambangi tempat-tempat tersebut, pikiran saya berkecamuk tentang hal-hal negatif yang selalu terjadi disebuah lokalisasi, mulai dari perempuan yang gak bener, preman-preman, tindakan kriminal dan aroma-aroma yang tidak saya suka. Akan tetapi rasa was-was, geli dan jijik itu tiba-tiba tidak lagi mengusik diri saya dan berubah menjadi rasa iba setelah dengan tidak sengaja saya melihat seorang anak gadis yang kira-kira berumur antara tiga belas sampai lima belas tahun sedang duduk termenung diam dan nampak bahwa dia sedang menunggu tamu yang sekiranya bersedia membayarnya dan ironisnya itu terlihat menjadi hal yang biasa di tempat itu.
Untuk pertama kalinya saya berfikir, ini yang busuk manusia-manusianya atau  sistem pemerintahan yang busuklah yang yang menciptakan mereka? Bagaimana mungkin seorang anak yang masih perlu perlindungan berada di tempat seperti itu? Mulai saat itulah pemahaman saya mulai sedikit bergeser dari yang menilai semua pelaku prostitusi adalah sama menjadi ada pula diantaranya yang hanya menjadi korban keadaan.
Menurut saya masih mending bila Dolly cuma ditutup. Masih ingatkah anda cerita-cerita tempat-tempat maksiat pada zaman dahulu yang diabadikan dalam beberapa jenis alkitab. Kebanyakan dari kisah tersebut menceritakan bagaimana azab dan hukuman yang diturunkan langsung dari sang Maha Perkasa. Kaum-kaum tersebut dibinasakan seketika oleh karena mereka melakukan kemaksiatan-kemaksiatan yang hanya bertujuan memuaskan nafsu bejat kaum-kaum tersebut. Lantas apakah kita mau saudara-saudara kita sendiri tertimpa hal-hal semacam itu?
Pilihan yang terbaik menurut saya adalah mereka segera bertaubat dan memulai kehidupan yang baru selain bidang prostitusi.  Hanya seorang pesimistis dan bodohlah yang memilih jalan pintas demi mendapatkan kenikmatan duniawi dan hanya pemerintah yang bobroklah yang menyebabkan rakyatnya melakukan hal tersebut. Harapan saya tidak muluk-muluk kawan, semoga kita semua menjadi semakin lebih baik dari hari kehari. Itu saja menjadi sebuah nikmat yang sangat luar biasa.

Minggu, 15 Juni 2014

Debat Capres Sesi Kedua 2014

Suasana yang cukup kondusif dan terlihat lebih elegan apabila dibandingkan dengan debat yang pertama. Mungkin itulah kesan yang mucul dalam benak kita yang jelas dapat kita lihat dalam debat capres kali ini. Dengan melihat penyelenggaraan debat malam ini, saya memberikan apresiasi terhadap KPU sebagai penyelenggara acara debat pada malam hari ini. Hal itu terlihat bagaimana hasil yang dicapai dalam debat malam hari ini yang terlihat jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan debat capres yang pertama. Saya mengapresiasi KPU yang mau mendengar berbagai masukan dari para audiece dan mau berbenah diri dan membuat acara debat yang secara kasat mata terlihat lebih baik dari yang pertama.
          Ada beberapa penilaian saya secara pribadi tentang debat capres yang dilaksanakan pada malam hari ini. Saya memang bukan seorang pakar maupun seorang ahli yang berkompeten untuk mengomentari tentang debat pada malam hari ini tapi izinkan saya untuk berbagi pemikiran dan penilaian saya mengenai debat capres sesi yang kedua ini. Dalam tulisan ini saya akan mengutarakan dan memberikan gambaran tentang kedua calom presiden melalui kacamata saya sendiri dan berusaha menelisik secara berimbang untuk tidak memperlihatkan kesan memihak salah satu diantaranya.
         Dalam debat malam hari ini nampak dengan jelas bagaimana visi misi, karakter dan manajemen diri yang dimiliki kedua calom presiden republik Indonesia kali ini. Dalam tulisan ini saya akan memberikan penilaian dan analisa dari tayangan debat malam ini sesuai dengan kemampuan pengamatan saya semata dan tidak dianjurkan untuk menjadi rujukan dalam bentuk apapun.
     Beberapa hal yang nampak dalam debat capres kali ini adalah diantaranya kepribadian, cara penyampaian argumentasi, pemahaman terhadap sebuah permasalahan, penguasaan terhadap meteri yang diangkat dan barang yang dijual para kandidat kepada masyarakat. Hal-hal itulah yang akan saya bahas dalam tulisan saya ini karena saya tidak mau membahas ha-hal yang bersifat terlalu teknis sebab kalau masalah-masalah teknis biarlah mereka yang mencalonkan diri yang ambil pusing. Saya disini hanya sebagai komentator musiman saja dan tidak mau terlalu dipusingkan dengan dengan drama politik yang sebenarnya sudah klise.
         Tentunya kita sepakat bahwa terlalu naif apabila berfikir bahwa hanya dengan satu atau dua orang saja mampu membuat sebuah perubahan besar sebuah negara. Saya setuju bahwa satu orang mampu memunculkan ide dan gagasan yang sangat brilian tapi apabila tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkannya sama saja nol besar. Kemampuan mewujudkan ide dan gagasan itulah yang menurut saya tidak akan mampu dicapai apabila hanya satu atau dua orang saja. Untuk itulah seorang presiden harus menguasai manajemen yang mampu menggerakkan semua orang untuk mewujudkan ide dan gagasan tersebut.
     Straight to the point. Dalam debat malam hari ini nampak dengan jelas perbedaan karakter yang mononjol diantara kedua calon presiden ini. Prabowo terlihat tegas dan mantab, sesuai backgroundnya di lingkungan militer sementara Jokowi nampak  santai dan elegan layaknya seorang eksekutif, sesuai dengan backgroundnya sebagai seorang pengusaha. Kedua karakter ini tercermin pula dalam cara mereka berpolitik selama ini.
         Karakter yang menonjol dari seorang militeris tentu saja tegas, menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan, setia, loyal dan totalitas, semua itu selalu nampak dalam bagaimana Prabowo bersikap, berbicara dan bertindak. Dilain pihak, Jokowi menunjukkan sikap sesuai dengan backgroundnya sebagai pengusaha yaitu cerdik, kreatif, mandiri, dan supel. Untuk masalah karekter, saya belum melihat celah negatif selain permasalahan HAM yang menurut kabar yang beredar bahwa secara hukum menyebutkan Prabowo tidak terlibat dalam persoalan tersebut. Akan tetapi untuk Jokowi, saya melihatnya sangat minus untuk masalah karakter. Menurut saya, Jokowi  memiliki sisi negatif yang dimiliki oleh pengusaha. Terkadang seorang pengusaha tidak memiliki pegangan nilai-nilai moral dan kebanggaan terhadap apa yang telah diucapkan demi  mendapatkan keuntungan.
       Dalam sudut pandang ini saya melihat sisi negatif dari Jokowi yang “menghianati” kepercayaan Prabowo yang telah memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk menjadi gubernur Jakarta dan hanya karena diperintahkan oleh “Ibunya” Jokowi langsung menerima tawaran menjadi presiden. Pertanyaannya adalah kemana nilai-nilai moral yang dijejalkan semasa sekolah? Apa itu semua hanya termasuk dalam kurikulum pembodohan dan doktrinasi kepada masyarakat agar rakyatnya selalu nurut sama penguasa? Apa ini yang dimaksud revolusi mental yang di elu-elukan selama ini? But it’s ok for me, I’m just the audience in this show. So let it just flow and see what next will happen. Masalah moral urus masing-masing kayak lagunya Iwan Fals.
     Balik lagi ke masalah debat. Dalam kesempatan ini menurut saya memang Prabowolah yang menunjukkan etika yang lebih baik apabila dibandingkan dengan Jokowi. Saya melihat sikap kenegarawan dan rendah hati lebih ditunjukkan oleh Prabowo dibandingkan dengan Jokowi. Hal itu jelas terlihat ketika Prabowo mengakui dan mengapresiasi ide-ide yang baik yang disampaikan oleh Jokowi walaupun mungkin Prabowo akan terlihat minus di mata audience. Sebaliknya dalam acara tersebut saya tidak begitu melihat bentuk apresiasi dan penghormatan Jokowi kepada kepada Prabowo. Melihat hal tersebut asumsi yang muncul dalam pikiran saya adalah dari awal memang tujuan dari Jokowi adalah mengedepankan sebuah kemenangan bukan menjadi sebuah diskusi. It’s fine but which the better one?
Apabila kita melihat debat malam hari ini, akan terlihat cara dan gaya yang dipakai dalam penyampaian kedua kandidat yang nampak berbeda satu satu sama lain.  Dimulai dari calon nomor satu yaitu Prabowo, dalam kesempatan kali ini terlihat jelas bahwa Prabowo memiliki cara penyampaian yang yang menunjukkan backgroundnya yaitu seorang militer. Prabowo dalam setiap argumentasinya terdengar lebih tegas dan lantang dalam menyampaikan pemikiran-pemikirannya. Hal itu juga terlihat dari gestur yang dilakukan oleh Prabowo yang selalu memulai sebuah pembicaraan dengan beranjak dari tempat duduknya. Hal itu menunjukkan Prabowo mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik, dimana sikapnya tersebut menunjukkan kesan bahwa sosok Prabowo adalah seorang yang percaya diri dan berani menghadapi segala permasalahan dengan kondisi apapun.
       Akan tetapi ada beberapa bagian yang menunjukkan jawaban-jawaban yang dikeluarkan oleh Prabowo cenderung mengambang dan kurang menyasar ke pokok permasalahan. Saya tidak menyalahkan Prabowo yang terkadang kurang menguasai masalah-masalah teknis karena kemampuan seorang presiden yang utama adalah menguasai manusia. Dan saya berharap Prabowo memiliki kemapuan untuk itu karena menurut saya yang tersulit dalam membentuk sebuah pemerintahan adalah bagaimana cara mengoperasikan manusia secara efektif bukan mengoperasikan mesin. Disisi yang lain cara penyampaian Prabowo terlihat lebih santun daripada Jokowi. Hal itu terlihat bagaimana cara Prabowo dalam memberikan penghormatan dibeberapa kesempatan kepada rekan-rekannya, audience dan lawan politiknya yaitu Jokowi. Sementara hal itu minim sekali ditunjukkan oleh Jokowi.
      Selain daripada itu menurut saya, Prabowo dibanyak kesempatan terlalu sering mengeluarkan kata “uang” dalam setiap argumentasinya. Dalam perspektif saya kata uang salah satu kata yang ampuh dan sangat menarik untuk didengar oleh setiap orang karena “uang” adalah kata yang kita gunakan setiap saat sehingga sangat potensial digunakan dalam komunikasi. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah apa memang itu strategi yang digunakan untuk menanamkan pemikiran dialam bawah sadar masyarakat bahwa dengan memilih Prabowo maka rakyat akan punya banyak uang? Akan tetapi apabila kata “uang” digunakan terlalu berlebihan, menurut pendapat saya malah akan menjadi bomerang karena kesan kapitalis akan muncul pada diri Prabowo.
       Untuk kandidat yang kedua tentu saja dari apa yang terlihat memiliki cara penyampaian yang berbeda. Pada debat kali ini Jokowi terlihat memiliki modal yang cukup baik sebelum memasuki arena pertarungan. Hal itu dapat terlihat dari berapa banyak kertas kerpekan yang dibawanya pada saat awal debat ini dimulai. Menurut saya hal tersebut justru menunjukkan bahwa Jokowi mempunyai kelemahan dalam menghafal, karena sudah barang tentu sebelum naik ke ring setiap kandidat telah dilatih oleh masing-masing tim sukses. Ada kebiasaan jokowi yang terlihat sedikit minus dimata saya yaitu kebiasaannya berhenti berbicara ditengah-tengah kalimat yang membuat kesan kalau dia kehilangan konsentrasi.
Kebiasaan jokowi tersebut mungkin juga disadari oleh tim sukses Jokowi dan harus saya akui hal itu sudah banyak berkurang dalam debat malam hari ini khususnya pada sesi-sesi menjawab pertanyaan dari moderator. Entah karena semua kandidat sudah memiliki kisi-kisi pertanyaan atau memang pertanyaan-pertanyaan dari moderator cenderung lebih general dan mampu diprediksi oleh tim sukses Jokowi. Karena kebiasaan Jokowi itu muncul kembali kembali ketika pada sesi tanya jawab dengan Prabowo.
Modal lain yang dimiliki oleh Jokowi dan tidak ada pada Prabowo adalah kartu sehat dan kartu pintar yang dibawanya. Menurut saya hal itu sangat efektif digunakan oleh jokowi dalam debat kali ini karena dalam berkomunikasi kebanyakan orang akan lebih mantab apabila mempresentasikan dengan wujud barang secara langsung. Akan tetapi menurut saya Jokowi juga terlalu berlebihan mengeksplorasi barang-barang yang dibawanya, yang menurut hemat saya justru Jokowi hanya terlihat sebagai sales sebuah produk sehingga nama produknyalah yang menonjol bukan penciptanya. Walaupun begitu untuk kasus kali ini sepertinya tidak terlau menjadi permasalahan kerena saya rasa nama Jokowi sudah melekat pada kartu-kartu tersebut berkat manajemen publik yang selama ini dilakukan dimedia masa.
Walaupun sama-sama memiliki konsep kerakyatan, dalam memahami sebuah permasalahan kedua calon ini memiliki perspektif yang sedikit berbeda. Hal tersebut dapat terlihat pada cara berfikir Prabowo yang cenderung makro dan masive, sementara Jokowi cenderung memiliki konsep mikro dan segmented yang tentu saja keduanya mempunyai plus dan minusnya. Misalkan saja ketika Prabowo menayakan tentang masalah bentuk kerjasama asean kepada Jokowi dan sebaliknya Jokowi bertanya kepada Prabowo mengenai TPID yang notabene adalah kebijakan di tingkat daerah yang seharusnya menjadi tanggung jawab setiap pimpinan daerah. Hal tersebut menunjukkan kedua kandidat ini memiliki kerangka berfikir yang berbeda dalam memandang sebuah negara.
Penguasaan materi-materi yang diangkat oleh moderator dalam debat kali ini menurut saya berimbang diantara kedua belah pihak. Perbedaan diantara keduanyanya hanya terletak pada sudut pandang dan penafsiran seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Akan tetapi dalam sesi tanya jawab antara kedua pihak memang terlihat Jokowi lebih unggul apabila dibandingkan dengan Prabowo. Hal tersebut nampak ketika meluncurnya kata-kata dari Prabowo yang mengapresiasi konsep dari Jokowi dan membuat Jokowi mendapat nilai plus dari saya untuk itu.
Hal yang terakhir yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah hal-hal yang dijual oleh kedua belah pihak selama acara debat berlangsung menurut kaca mata saya tentunya. Saya awali sesuai nomer urut saja. Secara garis besar strategi jualan yang digunakan Prabowo utama di acara debat kali ini adalah memberi gambaran kepada masyarakat tentang betapa makmurnya Indonesia apabila tidak ada kebocoran anggaran yang selama ini terjadi, Anggaran senilai satu milyar yang diberikan kepada desa dan kelurahan, renegosiasi kontrak-kontrak asing yang merugikan, pembangunan infrastruktur transportasi, penambahan dan efisiensi APBN, dll. Sementara dari pihak Jokowi barang-barang yang dijual tentu saja mulai dari dua buah kartu, rakyat yang berdikari, revolusi mental, tol laut, pemotongan birokrasi, dll.
Saya sepakat kalau kedua belah pihak mempunyai kelabihan dan kekurangan masing-masing akan tetapi saya berharap dalam setiap perdebatan yang dilakukan bukan hanya untuk mencari sang pemenang semata melainkan pula untuk berdiskusi mencari solusi terbaik demi kemajuan bangsa Indonesia. Saya berharap setiap kandidat memiliki sikap legowo dan etika yang baik seperti yang diperlihatkan oleh Prabowo malam hari ini yang dengan jantan mengakui keunggulan lawannya dan tidak bertindak ceroboh dengan melakukan perlawanan yang sia-sia.


Sabtu, 14 Juni 2014

KOMEN ASAL

Semakin lucu saja nergeriku ini memang, masyarakatnya terkadang kelewatan bodoh ketika bertemu dengan sesuatu yang dianggap sebuah kebanggaan yang hakekatnya hanya akan menjatuhkan harga diri saja. Tentu saja saya juga sering melakukan hal-hal bodoh tersebut tersebut karena balik lagi bahwasanya saya juga merasa menjadi bagian dari negeri ini, oleh karena itu mau tidak mau entah dalam keadaan sadar ataupun tidak sayapun melakukannnya. Ngomongin soal politik memang nggak ada matinya, padahal kalau kita tengok sebentar rekaman sejarah, sudah berapa juta manusia mati hanya gara-gara politik, mulai dari zaman batu sampai zaman milenium.  Tapi ya sudahlah, di dunia ini memang semuanya butuh pengorbanan, mulai korban sapi sampai korban hati atau sampai-sampai harus mati hanya untuk melancarkan strategi.
Bicara soal negeriku ini memang tak lepas dari kisah nenek moyang yang katanya seorang pelaut. Ketika mendengar ungkapan tersebut saya merasa ada yang janggal dala cerita tersebut. Beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah dimana sisa-sisa peninggalan nenek moyang yang terlihat ada pada diri kita. Apabila dilihat dari perspektif kenapa orang melakukan perjalanan sampai meninggalkan kampung halamannnya tentu saja dapat kita dapat memunculkan beberapa asumsi yang saya ringkas menjadi 4 alasan.
Pertama, setiap makhluk melakukan sebuah perjalanan untuk pencarian lahan baru untuk memenuhi kebutuhan primer mereka yaitu makanan, begitu pula manusia. Kedua, setiap makhluk akan melakukan sebuah perjalanan meninggalkan sebuah tempat kelahirannya karena faktor external dari alam yang tidak bisa untuk diatasi misalkan saja gunung meletus. Ketiga, beberapa makhluk yang kalah dalam mempertahankan teritorial atau wilayah kekuasaannya, maka mau tidak mau harus meninggalkannya  dan hal itu juga terjadi pada manusia. Keempat, apabila sebuah kaum meninggalkan tanah kelahirannya dapat pula kita berasumsi bahwa mereka pergi untuk menaklukkan daerah lain untuk memperluah wilayah kekuasaannya.
Untuk alasan pertama dan kedua kita tidak perlu membahasnya terlalu jauh, karena itu semua  sudah menjadi kebutuhan dan hal yang tidak bisa ditawar untuk bertahan hidup. Oleh karena itu saya akan mengupas alasan yang ketiga dan keempat saja yang menurut saya lebih pas untuk dinego. Saya mengistilahkan nego pada alasan ketiga dan keempat karena pada poin-poin tersebut masih ada kesempatan untuk difikirkan dan bukan menjadi suatu keharusan untuk melakukan sebuah perjalanan.
Dengan berasumsi bahwa nenek moyang kita melakukan perjalanan antar pulau karena menanggung kekalahan dari bangsa lain, itu berarti bangsa kita ini adalah bangsa pecundang yang tidak mampu mempertahannkan wilayah kekuasaannya. Dan anehnya sayapun sedikit mengamini teori tersebut dengan alasan bahwa dalam rekaman sejarah bangsa kita telah digilir untuk memenuhi kepuasan nafsu bangsa lain selama lebih dari 350 tahun. Tapi tunggu dulu itu hanya untuk diatas kertas saja. Benarkan hanya 350 tahunsaja? Menurut saya penjajahan bangsa-bangsa asing itu tidak habis dalam waktu 350 tahun tersebut, karena bentuk-bentuk imperialis bangsa asing masih ada dan nyata di hadapan kita sekarang ini. Fakta tersebutlah yang menurut saya merupakan cerminan dari seperti apa nenek moyang kita yang mengarah pada teori ketiga.
Akan tetapi apabila merujuk pada alasan keempat, menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa petarung yang hebat dan kuat, memiliki kecerdasan tinggi sehingga dapat merumuskan strategi yang tepat kepada setiap lawannya, memiliki jiwa sebagai penakluk serta memiliki harga diri yang tinggi. Hal itu dapat kita lihat pada sejarah kerajaan-kerajaan yang terbentuk di nusantara pada zaman dahulu kala. Kita dapat mengambil contoh dari kerajaan Majapahit yang wilayah jajahannya sampai melebihi luas indonesia sekarang. Dengan melihat bahwa nenek moyang kita sebagai bangsa petarung, tidak aneh apabila sekarang bangsa kita banyak sekali yang melakukan pertarungan-pertarungan hanya karena masalah sepele. Hal itu mungkin memang disebabkan tidak tersalurkannya naluri petarung yang dimiliki oleh bangsa kita. Dan yang disayangkan kenapa tenaganya hanya untuk masalah0masalah yang sepele saja bukan untuk masalah yang lebih besar seperti melawan bangsa lain yang mengambil kekayaan alam kita misalnya. Atau memang bangsa ini nyalinya hanya cumup untuk mengurusi masalah yang remeh temeh saja.
Kelemahan bangsa ini menurut saya pribadi adalah karena sikap tidak terbukanya masyarakat kita mengenai segala sesuatu. Dari zaman purba, simbol adalah salah satu cara komunikasi yang digunakan selain kata-kata. Begitu banyak simbol atau yang dalam bahasa sekarang kerennya disebut semiotik, yang merupakan jati diri atau cerminan sebuah komunitas masyarakat dan tidak semuanya terjelaskan secara gamblang bahkan dalam ilmu pendidikan sekalipun. Karena saya orang jawa, saya akan mengambil contoh dari etnis saya saja biar tidak menyinggung etnis lain. Dalam etnis jawa ada beberapa bentuk simbolis yang mungkin menggambarkan sifat dan karakter orang Jawa misalkan blangkon. Ada beberapa macam bentuk blangkon yang ada saat ini sesuai dengan daerahnya masing masing. Saya hanya akan mengambil contoh bentuk benjolan yang ada di blangkon. Ada benjolan yang di depan dan ada benjolan yang di belakang yang tentu saja memiliki makna filosofis yang berbeda.
Saya akan memberi gambaran makna benjolan pada blangkon menurut versi saya dari perspektif positif yang telah saya dapatkan dari pengalaman saya berinteraksi dengan etnis saya selama ini terlebih dahulu. Arti benjolan yang terletak pada blangkon pada bagian depan dianggap sebagai cerminan sifat dan sikap sebuah komunitas yang terbuka dan berani menunjukkan sikap yang dirasakan sebenarnya atau untuk lebih sederhananya memiliki makna menjadi seseorang yang tampil apa adanya. Sedangkan untuk arti benjolan yang terdapat di belakang menurut saya memiliki arti bahwasanya seorang manusia itu tidak boleh sombong dan bertindak sewajarnya. Selain itu juga sebagai simbol bahwa apabila memiliki kekuatan yang lebih daripada orang lain, lebih baik disimpan agar tidak menimbulkan prasangka dan kesombongan kepada orang lain. Untuk lebih sederhananya maksud dari simbol itu adalah mengajarkan kita agar lebih rendah hati dan bersikap biasa seperti pada umumnya.
Setiap ciptaan pasti memiliki dua sisi yang berseberangan seperti pisau yang bisa digunakan untuk memasak makanan yang menyehatkan atau digunakan untuk membunuh seseorang. Kalo kita melihat dari contoh blangkon sesuai dengan analogi bahwasanya setiap ciptaan disunia memiliki dua sisi yang berseberangan, maka simbol blangkon pun menurut hemat saya memiliki sisi persepsi yang cenderung kearah negatif pula. Untuk blangkon yang memiliki benjolan di depan, setelah saya berinteraksi dan memperhatikan sifat dan sikap komunitas yang memakai blangkon tersebut saya memiliki pendapat bahwa model blangkon tersebut merepresentasikan sifat komunitas yang cenderung blak-blakkan tanpa peduli perasaan pihak lain tentang perilaku dan ucapannya. Komunitas ini lebih menunjukkan eksintensinya kepada orang lain dengan lebih memperlihatkan segala kemampuan yang dimilikinya. Dengan kata lain terkadang akan terlihat seperti menyombongkan kemampuan yang dimilikinya kepada orang lain.
Pada kasus blangkon yang memiliki benjolan di belakang, kebanyakan orang menafsirkan bahwa kelompok masyarakat yang memakainya memiliki karakter tidak jujur dan lebih suka ngedumel dibelakang. Ada pula yang menafsirka bahwa kelompok masyarakat tersebut sangat lihai dalam berpura-pura dan sangat sulit mengetahui jalan pikirannya yang sebenarnya. Contoh diatas hanya satu diantara jutaan simbol-simbol yang ada di nusantara kita ini. Bagaimana dengan simbol-simbol yang lain?  Melihat realita-realita yang merepresentasikan simbol-simbol tersebut, seharusnya peneliti bidang antropologi ataupun pemerintah dengan jujur menyampaikan makna-makna yang terdapat dalam sebuah simbol masyarakat, baik itu sesuatu yang positif maupun sisi negatifnya. Karena dengan mengetahui baik buruknya peninggalan leluhur kita, menurut saya kita akan lebih cepat mencapai kedewasaan berfikir yang selama ini menurut saya masyarakat masih dianggap sebagai anak kecil yang tidak boleh tahu hal-hal negatif yang sebenarnya terpendam dalam sejarah bangsa ini. Dan hasilnya seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini. Bangsa kita menjadi bangsa yang diremehkan seperti seorang anak kecil yang baru belajar berjalan. Pertanyaannya adalah sampai kapan akan seperti itu? Padahal kenyataannya peradaban kita pernah lebih unggul dibandinggkan dengan bangsa lain. Lantas pada kemana semua itu?
Sepertinya masyarakat bangsa ini lebih suka hanya menjadi penonton saja, bahkan menjadi penonton setia kayak ibu-ibu yang suka nonton sinetron di televisi. Kenapa saya mengatakan sepeti itu? Jawabanya adalah kita lebih suka melihat bangsa asing mengeruk apa yang kita punya di rumah kita sendiri sambil tertawa-tawa melihat mereka. Kita juga tolol seperti keledai yang begitu senangnya diiming-imingi satu buah wortel, padahal kita yang menarik kereta mereka yang penuh dengan makanan. Kita juga dipaksa menjadi kanibal yang tega memakan daging saodara sendiri. Mantep nggak tuh! Saya bukan orang yang anti asing, hanya saja saya tidak suka bagaimana bangsa asing memperlakukan kita selama ini karena mereka seolah tiada mau untuk memunculkan kesetaraan.
Seandainya saja ada yang mampu mengembalikan perasaan, sikap dan perilaku kita seperti pada zaman majapahit, bukan tidak mungkin bangsa ini menjadi pemimpin bangsa-bangsa lain di dunia. Saya pernah mendengar isu yang mengatakan bahwa banyak negara-negara maju dulunya memiliki hutang dengan kerajaan majapahit. Bayangkan saja kalau itu memang benar, semegah dan seterhormat apa bangsa kita dimata dunia saat itu. Kalaupun itu hanya isu, logikanya mana ada kerajaan yang mampu menaklukkan banyak kerajaan tanpa ada dukungan finansial yang sangat kuat? Tapi sekarang? Salah satu penyakit bangsa ini adalah melihat sejarah ya pantesnya di atas kertas saja. Sedikit sekali orang yang menempatkan sejarah menjadi bagian dari tubuh, pikiran, dan hatinya. Kita mungkin pernah melihat sosok yang mewakili kejayaan Gajah Mada pada kerajaan Majapahit ada pada presiden pertama kita yaitu Sukarno. Alasan saya menyamakan sosok Gajahmada dengan adalah karena mereka berdua memiliki agenda yang sama yaitu menyatukan nusantara. Sukarno berhasil menyatukan kembali kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara sehingga menjadi negara yang sekarang kita sebut sebagai Indonesia.
Kalau ingin melihat betapa hebatnya Sukarno, anda jangan terburu-buru melihat kiprahnya di dunia internasional. Pekerjaan terkeren menurut saya adalah ketika Sukarno menyatukan kerajaan-kerajaan di nusantara. Logikanya kalau anda seorang pemilik rumah kemudian datang seseorang untuk meminta rumah anda agar digunakan secara bersama-sama dan memiliki hak yang sama, lantas apa anda akan dengan sukarela langsung menyerahkan rumah anda begitu saja? Kebanyakan dari kita mungkin akan berfikir seribu kali dan cenderung untuk menolaknya. Oleh karena itu, yang membuat saya bertanya-tanya adalah bagaimana cara Sukarno meyakinkan raja-raja di nusantara untuk melebur menjadi satu negara. Itu masih menjadi sebuah misteri bagi saya.
be continue…….



Jumat, 13 Juni 2014

NIGHT OF JUNE

      Malam semakin larut pekat membayang cahaya bulan mengalunkan hembusan beku yang mengeringkan aliran darahku, sekakan leher dan kepalaku tertanam sebuak pasak besi yang setiap saat membuatku mendesis. Beberapa malam kelam temaram yang aku lewati seakan menjadi pembias bayang jiwaku yang semakin lama terlihat semakin memudar. Semakin lama ku lalui kelam seperti ini semakin jauh diriku dengan peraduan yang biasa ku. Suara-suara kehidupan yang semakin lama menjauh dan memudar ku dengar setiap waktu bersama kelamku. Setiap saat aku bercerita, mengadu dan berteriak dalam alam kalamku yang dengan bebas aku hujamkan segala asa yang memasungku. 
     Jika kegelapan adalah sebuah kenistaan maka nistalah diriku yang merasakan kenyamanan dalam persembunyianku. Bila cahaya adalah sebuah pencerahan maka terpuruklah aku didalam kebuntuan karena cayaha hanya membuat mataku seolah tertusuk oleh makhluk yang berlindung dalam cahaya. Berbalut asap putih yang keluar dari ciptanya, kulalui kesendirianku sebagai seorang yang konon paling sempurna. Semakin hari aku semakin menjauh akan kesempurnaan, kehebatan, kejantanan, kecantikan, ketangguhan, peperkasaan, kenindahan, kesaktian, kebijaksanaan dan segalamacam yang terlihat menyilaukan mataku. Semakin ku memikirkan hal-hal tersebut semakin tercipta sebuah kebencian terhadap diriku sendiri yang merasa senang berkubang dalam kubangan cahaya. Kubangan yang selalu membuat diriku terlena dan takut untuk melagkahkan kaki-kakiku yang seharusya berlumuran tanah liat dari tanah yang seharusnya menjadi singgasanaku. 
      Mungkin aku bukan seorang heroik dan juga bukan seorang futuristik. Mungkinlah aku hanya seorang melankolis yang cenderung plegmatis yang lebih mudah bersikap pesimis dibandingkan untuk optimistis. Semakin lama aku menjalani usiaku, semakin memudar segala keyakinanku yang selama ini disuapkan ke dalam kalamku. Benar dan salah seolah segalanya hanya menjadi benar, hitam dan putih terlihat tidak terpisah melainkan satu. Cinta dan benci terasa bukan menjadi sebuah pertengtangan melainkan sebuah ikatan. Hidup dan mati bukan lagi menjadi sebuah pembatas melainkan jembatan yang menghubungkan kesebuah tempat yang mungkin aku tahu atau tidak ku mengerti sekalipun.
      Semakin banyak ku jumpai mahkluk sepertiku, semakin pudar segala bentuk yang telah tergambar di alam bawah sadarku. Semakin ku selami kalamku, semakin ku takut akan ketidakmampuan dan kelalaianku. Bosan, jenuh, penat adalah kata-kata yang aku muntahkan setiap hari tanpa ada batasan waktu. Segala makian yang ku muntahkan setiap hari tidak akan menyakiti orang lain karena yang pantas menyandang makian tersebut hanyalah diriku seorang. Kalaupun ada yang terciprat, sesunggunya tiada perlu orang sampai menepuk jidat dan balik mengumpat karana kondisiku lebih hina dari cipratan itu. Jangan pernah menganggap diriku adalah seorang sufi terlebih suci karena aku sendiripun mulai gamang tentang keberadaan orang-orang itu. Tidak ada manusia yang tidak pernah kotor, tidak ada manusia yang tidak pernah merasakan kehinaan karena sesunggunya manusia itu dari sanalah berasal. 
      Manusia adalah makhluk yang sempurna. Ketika orang berkata seperti itu kepadaku, pikiran liarku mulai bertanya-tanya tentang banyak hal. Apa yang disebut sempurna? Kenapa bisa sempurna? Bukankah kesempurnaan hanya milik tuhan? Lantas kenapa manusia mengaku-ngaku sebagai sebuah kesempurnaan. Apa iya hanya diberi segumpal daging lantas disebut makhluk sempurna? Lalu apa karena manusia yang diberi akal yang kebanyakan dangkal lantas menjadikan kita makhluk sempurna? Sekian lama ku cari jawaban, yang aku temui hanyalah sebuah arogansi makhluk yang mengatasnamakan kesempurnaan yang sebenarnya tiada berdaya apapun. 
      Gila! Sebuah kata yang bisa menjadi sebuah predikat yang nyaman ku sandang. Ketika menyandang kata itu, terbebaslah jiwaku yang selama ini terkurung yang membuatnya punya waktu menggemukkan diri yang akhirnya tiada mampu berdiri sekalipun. Hidupku seakan menjadi kuda jantan liar di padang belukar yang berlari dengan otot-otot kekar sembari berkelakar bahwa akulah cipta paling pintar lagi bugar. Atau menjadi singa yang gahar dengan tajamnya cakar dan lantang mengaum yang membuat ciut sebuah kaum. Tapi seindah-indahnya sandang tetaplah sandang, mereka hanya melengkapi atau mungkin menutupi apa yang sebenarnya diri kita. 
      Ketika kamu membaca tulisan kusutku, mugkin akan terbersit dalam benakmu bahwasanya tulisan ini penuh dengan retorika dan berbusa. Tiada perlu berdebat tentang apa yang aku tulis dan yang kamu pikir. Karena ini memang tulisan kusut yang carut marut dan tidak perlu untuk diurut atau dimasukkan dalam perut sampai rasa hatimu terparut.